Mengintegrasikan Sistem Manajemen Keamanan Pangan di Industri

Mengintegrasikan Sistem Manajemen Keamanan Pangan di Industri
Oleh D.R. Tirtasujana

General Manager
Food Safety-Quality Center of Excellence
Premysis Consulting

Keamanan Pangan bukan hal baru.  Bahkan sudah menjadi hal yang sangat penting sejak dulu.  HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Point), sejak dilahirkan sampai tulisan ini dibuat, masih menjadi jantung dari bebagai Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang telah diterbitkan dan diimplementasikan di seluruh dunia.  Ketujuh prinsip dan 12 langkah HACCP masih tetap menjadi senjata pamungkas untuk mengendalikan potensi bahaya fisik, kimia, maupun mikrobiologi dalam makanan.

Meskipun banyak sekali (bahkan mungkin hampir semua) sistem manajemen keamanan pangan didasarkan pada HACCP, namun pada perkembangannya terdapat banyak sekali pilihan untuk diterapkan oleh industri  pangan.  Bahkan terkadang sampai menimbulkan kebingungan.  Dari pengalaman diskusi dengan banyak industri pangan, masih banyak top management yang ingin memperbaiki perusahaan atau memuaskan pelanggan dengan menerapkan sistem, tetapi bingung dalam memilih standarnya.


Pertanyaan dari banyak industri pangan bukan hanya sebatas “Standar apa yang harus saya terapkan?”.  Namun juga, “Bagaimana cara penerapannya?  Bagaimana menyatukan (mengintegrasikan) sistem dengan kegiatan perusahaan sehari-hari?  Bagaimana mengintegrasikan dengan sistem yang sudah ada?  Atau dengan sistem yang nantinya juga akan dibangun?”  Dan masih banyak lagi pertanyaan yang belum semua jawabnya diketahui oleh industri pangan.

Sebelum menjawabnya, ada baiknya sejenak kita lirik trend secara umum mengenai Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang ada di tanah air saat ini.

1.       Sistem Keamanan Pangan Secara Umum
Penerapan Sistem Kemananan Pangan secara umum di Indonesia masih didominasi oleh manufacturing (pabrik) pengolahan makanan.  Meskipun demikian, industri lain yang terkait dengan makanan juga sudah mulai banyak yang menerapkan.  Salah satunya adalah industri kemasan pangan, terutama kemasan primer (yang kontak langsung dengan makanan).  Industri lain yang mulai melirik sistem keamanan (packaging) pangan untuk diterapkan adalah industri jasa boga (food service) seperti restoran, katering, café, retail, hotel, dll.  Di luar itu, sistem keamanan pangan juga sudah mulai dicoba diterapkan di industri seperti industri pakan, farmasi, dll.

2.       HACCP
Sistem keamanan pangan yang termasuk paling sederhana dan lebih mudah untuk mendapatkan sertifikasi adalah HACCP, disamping GMP (Good Manufacturing Practices).  Untuk industri yang baru “coba-coba” atau “sekedar ingin memenuhi persyaratan pelanggan” tapi menginginkan sertifikasi yang bisa dijadikan “marketing tool”, maka HACCP masih menjadi pilihan untuk diterapkan.  Beberapa restoran, industri kecil, ataupun retail masih memilih “HACCP saja” untuk diterapkan dan sudah memiliki banyak manfaat secara internal maupun secara marketing.  Dengan memiliki HACCP yang tersertifikasi, maka akan menjadi pondasi yang bisa dikembangkan dengan lebih mudah ke depannya jika ada kebutuhan untuk menerapkan ISO 22000, BRC, FSSC, dll.

3.       ISO 22000
Standar ini diterbitkan pertama kali di bulan September 2005.  Tahun 2006 perusahaan di Indonesia sudah mulai menerapkannya.  Standar ini lebih tinggi dari HACCP, di mana HACCP dan GMP (atau dalam ISO 22000 disebut PRP – Prerequisite Program) merupakan dua dari empat elemen kunci dalam standar ini.  Artinya, di dalam ISO 22000 sudah otomatis terdapat HACCP dan GMP.  Sampai saat ini semakin banyak industri pangan yang menerapkan ISO 22000.  Kesan “berbau international” dari kata-kata “ISO“ membuat industri tertentu lebih percaya diri ketika memiliki ISO 22000 dibanding HACCP.  Ini menjadi pilihan yang baik bagi industri yang sudah menerapkan HACCP untuk meng-“upgrade” sistem manajemennya ataupun bagi perusahaan yang baru pertama kali menerapkan sistem dan ingin dipercaya oleh pelanggan serta ingin merapikan sistem manajemen internalnya.

4.       FSSC 22000 (Food Safety System Certification)
Peran industri besar multinasional terhadap perkembangan sistem manajemen keamanan pangan memang tidak bisa diabaikan.  Beberapa perusahaan multinasional pangan (seperti Unilever, Nestle, Danone, Kraft, dll) berkumpul sehingga melahirkan standar yang lebih baik untuk PRP (Prerequisite Program) yang ada dalam ISO 22000.  Standar yang mereka lahirkan bernama PAS 220 (sekarang sudah diadopsi oleh ISO menjadi ISO/TS 22002-1).  PAS 220 ditujukan untuk pabrik (manufakturing) pangan yang diterapkan bersama ISO 22000.  Gabungan antara ISO 22000 dengan PAS 220 ini disebut FSSC 22000.  Standar ini pertama terbit di tahun 2008.  Sejak tahun 2010, supplier-supplier dari perusahaan multinasional tersebut (seperti produsen flavor, gula, tepung, dll) yang berlokasi di Indonesia sudah mulai menerapkan FSSC 22000.  Caranya bisa mulai membangun dari awal, ataupun meng-“upgrade” ISO 22000 yang sudah mereka miliki.  Pada perkembangannya saat ini, indusri yang memproduksi produk pangan untuk ritel pun menerapkan standar ini.

5.       FSSC 22000 untuk Food Packaging
Tahun 2011, terbitlah PAS 223.  Seperti saudara tuanya (PAS 220), standar ini disusun juga oleh industri-industri pangan multinasional yang memikirkan bagaimana memiliki supplier kemasan yang lebih baik sistem keamanan pangannya.  Industri kemasan multinasional pun ikut serta dalam membidani lahirnya standar ini.  PAS 223 dikhususkan untuk diterapkan di industri yang memproduksi kemasan pangan.  Sama seperti PAS 220, standar ini tidak berdiri sendiri, melainkan digabungkan dengan ISO 22000 menjadi FSSC.  Industri pangan multinasional di Indonesia, sejak 2012 sudah mulai meminta supplier kemasannya (terutama kemasan primer) untuk menerapkan FSSC 22000 ini.  Beberapa dari mereka bahkan meminta suppliernya untuk menandatangani semacam komitmen untuk menjanjikan kapan supplier tersebut akan disertifikasi FSSC 22000.  Akibatnya, banyak industri kemasan seperti botol plastik, gallon air minum, flexible packaging, dll yang sudah memiliki sertifikasi FSSC 22000 ini.  Saat ini semakin banyak industri kemasan yang ingin menerapkan standar ini, bahkan untuk mempersiapkan diri sebelum diminta oleh pelanggannya yang merupakan perusahaan multinasional

6.       Integrasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Penerapan sistem manajemen keamanan pangan yang baik akan lebih kokoh jika didampingi oleh penerapan sistem manajemen mutu.  Karena bagi industri pangan, satu tanpa lainnya belumlah lengkap.  Ada beberapa pesyaratan dalam sistem manajemen mutu yang belum tercakup di dalam sistem manajemen keamanan pangan.  Untungnya, standar sistem manajemen keamanan pangan seperti ISO 22000 paling mudah diintegrasikan dengan standar sistem manajemen mutu.  Mengapa?  Karena memang ISO 22000 dibuat agar mudah diintegrasikan dengan ISO 9001.  Karenanya, banyak perusahaan yang sudah sebelumnya menerapkan ISO 9001, menambahkan penerapan ISO 22000 dalam sistemnya.  Demikian juga sebaliknya.  Hasilnya, perusahaan tetap menerapkan satu sistem di mana sistem ini sudah memenuhi persyaratan dari kedua standar tersebut.  Selain ISO 22000, sistem yang juga mudah dan mulai banyak diintegrasikan dengan ISO 9001 di Indonesia adalah FSSC 22000 (karena dasar FSSC adalah ISO 22000 juga).  Ke depannya, baik tersertifikasi keduanya atau salah satu saja, tren penerapan integrasi manajemen sistem ini akan semakin besar.  Bahkan bukan hanya integrasi sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, tetapi beberapa perusahaan di Indonesia sudah mulai mengintegrasikan juga sistem tersebut dengan sistem manajemen lingkungan (ISO 14001) ataupun kesehatan dan keselamatan kerja (OHSAS 18001).

7.       Standar-Standar BRC (British Retail Consostium)
BRC menerbitkan beberapa standar.  Di antaranya yang paling banyak diterapkan di Indonesia adalah BRC Global Standard for Food Safety.  Saat ini, standar tersebut sudah direvisi sampai issue ke-6.  Standar ini terutama diterapkan oleh industri yang berorientasi ke pasar ekspor, terutama ke UK sebagai negara asal BRC.  Di Indonesia, penerapannya banyak dilakukan oleh perusahaan pengolahan makanan laut untuk diekspor.  Standar BRC lain yang juga mulai dilirik industri di Indonesia adalah BRC Packaging and Packaging Materials Standard yang merupakan standar untuk diterapkan oleh industri kemasan pangan.

8.       GFSI Standard
GFSI (Global Food Safety Initiatives) sebenarnya tidak mengeluarkan standar.  Organisasi Internasional ini dibentuk untuk melakukan pembandingan (benchmarking) terhadap standar-standar sistem manajemen keamanan pangan yang sudah banyak diterapkan di internasional.  Hasilnya, GFSI mengeluarkan daftar standar yang sudah mereka “approved” atau “recognized”, yaitu standar-standar yang dianggap terbaik untuk Sistem Manajemen Keamanan Pangan.  Di antara standar-standar tersebut, yang banyak diterapkan di Indonesia adalah FSSC dan BRC.  Standar lain yang sudah “recognized” oleh GFSI, tapi tidak terlalu banyak atau tidak diterapkan di Indonesia adalah IFS, SQF, Canadian GAP, GlobalG.A.P. , Global Red Meat Standard, dll.

9.       Penerapan Desain Infrastruktur Industri Pangan
Perkembangan industri pangan di Indonesia masih terus berlanjut.  GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia) memperkiraan tahun 2014 ini pertumbuhan industri pangan akan mencapai 6%.  Infrastruktur pabrik untuk perusahaan pangan baru, ataupun pemain lama yang menambah pabrik terus dibangun.  Lalu apa kaitannya dengan sistem manajemen keamanan pangan?  Salah satu kendala terbesar bagi para pemilik dan pengelola (top management) di industri pangan dalam menerapkan sistem manajemen keamanan pangan adalah anggaran untuk infrastruktur.  Bagi pabrik yang sudah lama berdiri, anggaran perbaikan infrastruktur sudah bisa membuat banyak manajemen “gentar” atau “maju-mundur” dalam menerapkan sistem manajemen keamanan pangan.  Untuk itu, industri pangan yang baru mulai berdiri dengan infrastruktur yang baru akan dibangun mulai mencari jalan agar infrastrukturnya sudah dibangun dengan “benar” sejak batu pertama diletakkan.  Dengan demikian, penerapan desain yang benar untuk infrastruktur industri pangan mulai banyak dilakukan, karena pada akhirnya, dengan perkembangan di Indonesia seperti dipaparkan sebelumnya, maka tuntutan untuk menerapkan sistem manajemen keamanan pangan akan pada suatu titik yang tidak bisa dihindari lagi.

10.   Audit Supplier
Salah satu bagian dari penerapan sistem manajemen keamanan pangan adalah memastikan bahwa supplier yang digunakan juga memiliki standar sistem keamanan panganyang baik.  Cara yang sejak lama sudah dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah dengan audit supplier.  Perusahaan lokal di Indonesia pun sudah mulai beberapa tahun belakangan ini menerapkan audit ke suppliernya, meskipun masih belum banyak yang memiliki sistem audit seketat perusahaan multinasional.  Audit bisa dilakukan dengan auditor internal perusahaan atau meminta bantuan pihak ketiga.  Kebanyakan perusahaan (terutama persahaan multinasional) menyusun sendiri checklist yang digunakan pada saat mengunjungi supplier untuk diaudit.  Namun, sebenarnya, bisa juga digunakan checklist yang mengacu pada standar-standar yang berlaku secara umum, misalnya standar sistem manajemen keamanan pangan yang disebutkan di atas.

11.   Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan di Jasa Boga (Food Service)
Seperti disinggung di atas, industri jasa boga (food service) seperti restoran, catering, café, hotel, dll mulai melirik penerapan  sistem manajemen keamanan pangan.  Dikarenakan jenis industrinya (dengan jumlah orang terbatas serta jumlah proses dalam satu dapur yang bisa lebih banyak dari pabrik), maka penerepannya perlu dilakukan dengan cara yang lebih sederhana daripada penerapan di pabrik.  Berbeda dengan pabrik yang umumnya hampir tidak pernah dikunjungi konsumen, penerapan sistem di food service seringnya mudah terlihat oleh konsumen secara langsung di fasilitasnya.  Untuk itu, sistem manajemen apapun yang diterapkan, perlu melibatkan sudut pandang konsumen/pelanggan dalam memantau sistemnya.  Penggunaan “mata pelanggan” untuk menilai penerapan sistem terkait mutu servis maupun higiene (keamanan pangan) bisa menjadi cara yang efektif untuk memastikan sistem berjalan dengan baik.   Hal ini mulai dilakukan oleh beberapa industri jasa boga di Indonesia


Standar apa yang harus diterapkan?
Kembali ke pertanyaan di awal, “Standar apa yang harus diterapkan?”.  Tentunya ini tergantung dari beberapa hal.  Pertama, dengan mempelajari standar-standar tersebut, industri bisa memilih standa yang memberikan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumennya.  Kedua, jika sebuah industri merupakan bagian dari industri yang lebih besar lagi, umumnya terdapat pedoman dari korporasi tentang sistem yang akan diterapkan.  Ketiga, konsumen tetap merupakan bagian penting dari sebuah bisnis.  Perlu diketahui standar apa yang diinginkan oleh konsumen untuk diterapkan.  Keempat, peraturan yang berlaku di tempat produksi atau di tempat tujuan penjualan harus dipertimbangkan dalam memilih sistem yang akan diterapkan.  Kelima, pertimbangkan juga sumber daya yang tersedia, terutama dari sisi anggaran untuk infrastruktur dan sumber daya manusia (kompetensi) yang tersedia.  Tearkhir, pertimbangkan standar-standar yang sudah direkomendasikan oleh GFSI, terutama yang banyak diterapkan di Indonesia apalagi jika sudah atau ada rencana ekspor maupun menjual ke industri pangan multinasional.


Integrasi dengan pekerjaan sehari hari
Hal yang sangat penting dalam penerapan sistem manajemen keamanan pangan adalah bagaimana sistem itu tidak menjadi beban ketika diterapkan.  Pada perusahaan yang sudah lama berdiri, kemudian baru mulai menerapkan sistem, terkadang masih ada pemikiran yang memisahkan antara “pekerjaan sehari-hari” yang memang sudah selalu dilakukan dengan “sistem yang baru”.  Sehingga yang terjadi adalah pekerjaan HACCP/ISO/dll tidak pernah disentuh.  Form-form HACCP/ISO terpisah dari form harian yang digunakan dan hanya diisi secara mendadak  ketika akan menghadapi audit.

Untuk mengatasinya, perlu pemahaman dari awal, pada saat sistem akan dibangun, di semua bagian, bahwa bukan “sistem baru yang akan ditambahkan untuk diterapkan”, tetapi “sistem kerja yang ada akan diubah untuk memenuhi persyaratan standar sistem manajemen keamanan pangan”.  Jadi, untuk selanjutnya, setelah sistem diterapkan, yang akan dikerjakan adalah sistem milik perusahaan sendiri, yang sudah disertifikasi.

Ini butuh pemahaman dari mulai level manajemen puncak.  Kemudian komunikasi ke bawah juga harus sangat jelas.  Pada penyusunannya, semua dokumen seperti prosedur, instruksi kerja, form, dll perlu dipastikan tidak ada yang dobel (misalnya, ada “form lama” dan ada “form ISO”).  Pada penerapannya, pemantauan perlu dilakukan secara terus menerus untuk memastikan pemahaman yang benar serta implementasi yang efektif.  Caranya adalah dengan menggunakan hasil audit internal maupun eksternal sebagai bahan masukan untuk menilai implementasi dan melakukan improvement.

Integrasi Antar Management System
Untuk mengintegrasikan beberapa sistem manajemen dalam satu perusahaan, penyusunan bisa dilakukan secara bertahap.  Terapkan satu standar dulu sampai mendapatkan sertifikasi, kemudian disusul dengan penerapan standar berikutnya.  Namun, tidaklah salah jika penyusunan sistem dilakukan sekaligus dalam satu waktu.  Beberapa perusahaan menerapkan hal ini.

Integrasi Manajemen sistem di industri pangan yang paling umum adalah integrasi antara sistem manajemen mutu dan sistem manajemen keamanan pangan.  Di Indonesia, paling umum adalah ISO 9001 dengan ISO 22000 (atau sekarang sudah mulai banyak juga yang mengintegrasikan dengan FSSC).

Hal-hal yang diintegrasikan dalam sistem manajemen mutu dan keamanan pangan terpadu tersebut antara lain:
Kebijakan dan Sasaran, dibuat menjadi pernyataan kebijakan mutu dan keamanan pangan yang meliputi kedua unsure tersebut
Wakil Manajemen, bisa dirangkap oleh satu orang personel untuk kedua sistem tersebut
Perencanaan, baik itu perencanaan sumber daya, perencanaan proses, perencanaan sistem, dll, semuanya sudah mempertimbangkan pemenuhan persyaratan dari kedua standar tersebut
Dokumentasi, hanya perlu dibuat satu jenis dokumentasi yang lengkap yang sudah mencakup dan memenuhi persyaratan kedua standar tersebut, mulai dari manual mutu dan keamanan pangan, SOP, instruksi kerja, form, serta dokumen pendukung lainnya.
Implementasi, di semua level harus memiliki pemahaman bahwa mereka sedang menerapkan hanya satu sistem, yaitu sistem internal perusahaan yang memenuhi persyaratan kedua standar.
Audit/Assessment, baik audit internal maupun eksternal bisa digabungkan untuk kedua sistem
Improvement,
Management review, bisa dilakukan dalam satu waktu untuk membahas penerapan sistem manajemen mutu maupun keamanan pangan

Sebagai penutup, bagi Anda yang bergerak di industri pangan di Indonesia yang belum menerapkan sistem, perlu disiapkan segala sesuatu, termasuk sumber daya dan anggaran untuk investasi, dalam menerapkan Sistem Manajemen Keamanan Pangan.  Bagi Anda yang sudah memulai, tetap perlu mempersiapkan diri untuk improvement yang terus-menerus.  Penerapan sistem ini akan segera menjadi hal yang tidak terhidarkan lagi dalam waktu dekat di Indonesia.